Anakku, ketika
semua takut pada penguasa diktator, ketika semua menari sesuai kehendak rezim
penguasa, sejarah selalu menunjukkan bahwa terkecuali mahasiswa. Mahasiswa
dengan demonya selalu ditakuti dan sanggup mengubah sejarah. Tapi, kemarin
anakku, Ayah dan Ibumu menangis sedih di kampung karena demo mahasiswa sama
dengan anarkis. Ayah menangis karena koruptor dan pelaku kejahatan lainnya di
negara ini akan berlindung dibalik demo anarkis dengan membangun opini bahwa
demo tidak baik. Anakku, demo adalah perkakas demokrasi, sedang anarkis adalah
perkakas kejahatan. Dua perkakas itu beda sekali. Demo memekarkan harapan,
sedang anarkis membunuhnya.
Teruslah
berdemo, anakku, mahasiswa. Jangan takut! Ketika kamu keluar dari rahim ibumu,
harapan Ayah menjadi mekar. Sebuah generasi sudah lahir, pengganti Ayah dan
Ibu. Ibumu memberimu air susu dan engkau menetek tanpa pilih waktu, dari subuh
sampai menjelang subuh berikutnya. Kalau Ibumu capek, Ayah pun menggendong dan
menina-bobokmu, walau tidak sekuat dan setahan Ibumu men”jabe-lale”mu. Ibumu
menyusuimu dalam keadaan berdiri, duduk, dan tertidur. Atau sedang memasak di
dapur sambil juga mencuci pakaianmu yang kotor. Ayah ingat itu semua pada saat
harapan kami berbunga-bunga kepadamu. Saat kaki mungilmu meronta-ronta, Ayah
seperti mendapat isyarat bahwa kamu akan menjadi manusia, bukan sampah.
Anakku, air susu
Ibumu dan makanan yang kami berikan kepadamu, tak mengandung sedikit pun zat
anarkisme. Ayah dan Ibumu bergantian mengantar dan menjemputmu saat kau masih
sekolah Taman Kanak-Kanak. Sampai tiba saatnya, kamu kami antar ke sekolah
untuk menjadi mahasiswa. Mahasiswa, bukan murid taman kanak-kanak atau siswa
sekolah menengah, anakku. Kata “maha” hanya dipakai untuk Tuhan (Yang Maha
Kuasa), Guru (mahaguru), dan kamu anakku, “mahasiswa”. Ayah mengira-ngira,
boleh jadi maksudnya adalah agar kamu memiliki sifat agung Tuhan dan sifat
mulia Guru.
Dan memang benar
anakku, orang-orang kuat di puncak rezim kezaliman dijatuhkan oleh mahasiswa.
Soekarno jatuh oleh demo mahasiswa dari angkatan 66 yang tergabung dalam
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dengan tokoh-tokoh mahasiswa seperti
Cosmas Batubaara, Zamroni, Jusuf Kalla (Ketua KAMI Sul-Sel), dan banyak lagi
yang lain. Soeharto dipaksa lengser oleh kekuatan demo mahasiswa sejak dari
kota Jakarta hingga ke kota-kota perguruan tinggi di Tanah Air. Sehingga, lahir
ungkapan “Mahasiswa takut kepada Dosen, Dosen takut pada Dekan, Dekan takut
pada Rektor, Rektor takut pada Menteri, Menteri takut pada Presiden, Presiden
ternyata takut pada Mahasiswa.”
Anakku
mahasiswa, jangan berkecil hati, teruslah berdemo. Tindakan anarkis telah
mencoreng mukamu, dan bahkan mau dibangun pikiran bahwa demo tidak baik. Itu
adalah permainan, anakku. Menangkanlah permainan opini itu dengan mengakui dan
bertobat dari demo yang anarkis. Lalu, keluarlah besok, lusa, atau kapan saja,
berdemo tanpa anarkis, menyuarakan aspirasi warga yang dirampas suaranya, yang
dizalimi haknya, yang dikoyak keadilannya, yang dibiarkan tetap miskin..., oleh
siperampas, si penganiaya, si tamak-rakus...
Sebelum berdemo
anakku, bertekadlah bahwa anarkisme adalah musuh demonstran. Kasus Century,
misteri terpilihnya Gubernur BI, kasus Gayus Tambunan, dan lain-lain seperti
kasus Misbakhun, telah membuat tak sedikit orang, khususnya politikus dan
parpolnya, merasa amat takut kepada mahasiswa, selain media. Orang-orang itu
tidak takut sama sekali kepada lembaga penegak hukum yang sanggup mereka
kebiri.
Teruslah berdemo
anakku, menangkanlah permainan opini. Buang perbuatan anarkis dalam demomu.
Akan kamu lihat, rakyat akan mendukung demo dan gerakan mahasiswa. Hanya
mahasiswa dan media yang bisa mengubah keadaan ketika semua yang lain
dihipnotis oleh keserakahan kepada kekuasaan dan materi. Teruslah berdemo tanpa
anarkis!!!!
karya ; M. Qasim Mathar
dikutip oleh Andi Zainuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar