Selasa, 21 Februari 2012

Ilmu, Maksiat, dan Rasa Malu



Suatu ketika Imam Syafi’I duduk dihadapan Imam Malik. Ketika itu Imam Malik terkesima dengan kelebihan yang dimiliki Imam Syafi’i. lalu Imam Malik berkata, “Allah telah menganugerahkan seberkas cahaya dalam hatimu, maka janganlah sekali-kali kamu memadamkannya dengan kegelapan maksiat.”
Namun pada suatu hari ketika Imam Syafi’I sedang dalam perjalanan menuju rumah gurunya, Waki’ Ibnul Jarah, wasiat Imam Malik tersebut ia langgar. Ia melihat tumit seorang wanita. Seketika itu pulalah hafalannya kacau, padahal ia terkenal mampu menghafal persis yang tertulis, bahkan agar hafalannya tak tercamput, ia meletakkan sebelah tangannya di atas lembaran berikutnya. Imam Waki’pun kembali mengingatkan Syafi’I terhadap nasihat Imam Malik, yaitu agar ia meninggalkan dosa sebagai obat manjur untuk menguatkan hafalannya.


Kuadukan kepada Waki’
Buruknya hafalanku
Maka ia menasehatiku
Agar aku meninggalkan maksiat
Ia juga mengingatkanku
Bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah takkan diberikan
Kepada pelaku maksiat
(Dr. Khalid Abu Syadi, Alangkah Buruknya Dosa, hlm. 13-14)

Saudaraku, bayangkan saja bagaimana jika seandainya orang seperti Imam Syafi’i hidup di zaman kita. akan sangat sulit untuk terhindar dari dosa. Sebab, saat sekarang ini begitu keluar dari rumah, kita akan dijumpai dengan pemandanagan para wanita yang bukan mahram membuka aurat sesuai dengan keinginan mereka. Bukan hanya tumit yang kelihatan seperti yang tak sengaja dilihat Imam Syafi’i , bahkan pada zaman ini banyak wanita yang kelihatan seluruh tubuhnya kecuali tumitnya. Naudzubillahi min dzalik.

Tahukah Anda… 

Maksiat itu menghilangkan rasa malu
Berbuat dosa alias maksiat kepada Allah bisa menghilangkan rasa malu. Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al Badri r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perkataan (sabda) Nabi paling pertama yang dikenal atau diketahui manusia adalah, “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah semaumu.” (HR  Bukhari, Abu Dawud, Ahmad)

Dalam hadis ini bukan berarti bahwa Rasulullah memberikan kebebasan yang membawa manfaat, melainkan mengancam orang yang tidak mempunyai rasa malu dalam melakukan apa saja yang dia kehendaki, padahal risikonya ditanggung sendiri. Ungkapan itu seperti firman Allah Swt.: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushshilat [41]: 40)

Malu bisa mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nuraninya. Perbuatan yang akan membuatnya merasa dikejar-kejar rasa bersalah. Dengan malu pula, kita bisa mencegah diri ketika akan melakukan dosa. Secara naluri memang demikian, siapapun orangnya yang masih punya hati nurani. Dan memang hanya rasa malu yang mampu membawa kepada kebaikan. Sabda Nabi yang mulia: “Malu hanya membawa kepada kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya rasa malu itu merupakan pagar yang paling kokoh untuk menjaga kita supaya sendi-sendinya tidak terserabut dan bangunannya tidak hancur. Jika kita pada akhirnya tahu bahwa hal tersebut merupakan bagian dari maksiat, maka menjadi satu keselamatan, ketika kita bertaubat. Sebaliknya, ketika kita tahu hal itu merupakan maksiat namun lantas tidak diindahkan, maka kecelakaannya yang akan diperolehnya. Naudzubillah….

oleh KMM ASY-SYAAMIL FE UNM


Sumber : 
Majalah Al-Firdaus edisi 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar